Oleh : Afrizal El Adzim Syahputra, Lc., MA
(Pengurus PC GP Ansor Trenggalek)
Tak terasa perkembangan teknologi sangat masif dari waktu ke waktu. Dunia yang fana ini dengan cepatnya dipenuhi oleh berbagai media, mulai dari facebook, twitter, instagram dan sebagainya. Dengan berbagai media tersebut, manusia semakin mudah untuk memperoleh informasi dari berbagai belahan dunia. Namun, ironisnya tidak sedikit yang memakai media tersebut sebagai ajang untuk saling menghujat. Kata “kafir” terlontar dengan sangat mudah. Banjir kata “kafir” tak terbendung, memenuhi berbagai media masa. Begitu gampangnya kata tersebut dituliskan di media yang ditujukan kepada orang yang tidak sepaham atau sealiran dengannya. Mereka yang berbuat demikian seolah olah tidak sadar dan tidak takut terhadap ancaman Rasulullah SAW yang artinya : “Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh" (HR. Bukhari-Muslim)
Para ulama’ sangat berhati hati untuk menjatuhkan vonis “kafir” kepada seseorang, karena jika terbukti bahwa orang tersebut bukan termasuk orang kafir, maka vonis “kafir” itu akan kembali kepadanya. Oleh karena itu, tidak diperkenankan bagi siapapun untuk menjatuhkan vonis kafir berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati hatian, kepastian dan informasi yang akurat. Tidak diperbolehkan juga menjatuhkan vonis “kafir” terhadap seseorang yang melakukan maksiat, selama orang tersebut dalam keadaan iman, memegang teguh dua syahadat. Dalam sebuah penggalan hadis yang diriwayatkan dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Ada tiga hal yang merupakan pokok iman : menahan diri dari orang yang menyatakan “Tiada Tuhan Selain Allah”, tidak memvonis kafir seseorang akibat dosa yang dia lakukan, tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosanya” ( HR. Abu Dawud ).
Hadis diatas memberikan penjelasan bahwa dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang bukan merupakan barometer untuk menjustifikasi bahwa orang tersebut “kafir”. Selama ada iman dalam hati seseorang, ia akan mendapatkan balasan surga meski harus mencicipi neraka terlebih dahulu karena noda maksiat yang menempel dalam dirinya. Imam Harawi, salah satu ulama’ bermadzhab Hanafi menukil pendapat dari para ulama’ bahwa mereka berkata : jika terdapat 99 hal yg menguatkan kekafiran seorang Muslim, tetapi masih ada satu alasan yang menetapkan keislamannya, maka sebaiknya Mufti dan Hakim beramal dengan satu alasan tersebut, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum Muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang Muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum.”
Secara bahasa, kata Kafir berasal dari kata “kufr” yang berarti menutup atau menyembunyikan sesuatu. Sebagian sya’ir arab menggunakan kata kafir untuk mengungkapkan gelapnya malam yang menyelimuti segala sesuatu. Dalam istilah syari’at, kata “kufr” bermakna orang yang mengingkari prinsip prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui umat Islam tanpa pandang bulu, seperti masalah keesaan Allah SWT, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad SAW, kebangkitan hari akhir, hisab ( perhitungan amal ), balasan, sorga, neraka. Maka, orang yang mengingkari prinsip prinsip ajaran agama sebagaimana yang disebutkan diatas dinamakan “Kafir”, kecuali bagi orang yang baru masuk Islam, maka ia diberi toleransi untuk mempelajari beberapa prinsip agama tersebut. Namun, kata “Kafir” juga berarti orang yang menutup nikmat Allah SWT ( tidak bersyukur atas nikmat Allah SWT ). Oleh karena itu, pengertian “kafir” tidak hanya dalam konteks keyakinan semata. Jika kata tersebut dipadankan dengan nikmat misalnya, maka pengertiannya adalah lawan dari orang-orang yang bersyukur yakni orang-orang yang kufur. Dalam hal ini Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an yang artinya :“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim : 07).
Khtaib As Syarbini, salah satu ulama’ mesir yang terkemuka, membagi kafir menjadi empat bagian : kafir ingkar, kafir juhud, kafir ‘inad dan kafir nifaq. Kafir ingkar adalah sebutan bagi orang yang tidak mengenal Allah SWT dan tidak mengakui-Nya sebagai Tuhan. Kafir juhud adalah sebutan bagi orang yang mengakui Allah SWT dalam hatinya, namun tidak mengakui-Nya secara lisan, seperti : Iblis dan orang Yahudi. Kafir ‘inad adalah orang yang mengakui Allah SWT dengan hati dan lisannya, namun ia tidak mau beragama Islam, seperti : Abu Thalib ( salah satu paman Rasulullah SAW ). Dan yang terakhir adalah kafir nifaq, yaitu sebutan bagi orang yang mengakui Allah SWT secara lisan, namun tidak meyakini-Nya dalam hati.
Orang orang yang memanggul paham radikal kerapkali begiu mudah melontarkan kata kata bid’ah, syirik dan kafir terhadap kelompok lain yang dipandang tidak sepemikiran dengan mereka Sebenarnya kelompok yang senang mengkafirkan golongan lain ( jama’ah takfiri ) sudah lahir sejak dulu kala. Yang awal awal bisa kita contohkan adalah munculnya kelompok Khawarij. Kelompok - kelompok semacam ini terus bermunculan dalam sejarah umat Islam. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan wahabi menganggap kafir semua orang yang tidak masuk menjadi pengikutnya, sekalipun mereka itu dari golongan ulama’ yang sangat tinggi tingkat ketakwaaanya. Di Arab Saudi, seorang ulama’ dengan tandasnya mengkafirkan ulama’ lain hanya karena ulama’ yang dikafirkan itu membolehkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di negeri kita pun nyaris panen pengkafiran, lewat ungkapan bid’ah, syirik dan kafir yang gampang sekali terlontar untuk menyebut amalan amalan yang dinilai tidak sefaham dengannya.
Golongan – golongan inilah yang dapat memperkeruh keharmonisan hubungan antar umat Islam. Orang – orang yang dituduh kafir oleh jama’ah takfiri meresa tidak nyaman. Telinga mereka selalu terganggu dengan ocehan - ocehan “kafir”. Apapun bentuk amaliyah yang mereka kerjakan selalu mendapat kecaman dari jama’ah takfiri. Sedangkan mereka tidak akan setuju jika amaliyah yang sudah menjadi rutinitas tahunan dianggap melenceng dari ajaran Islam oleh jama’ah takfiri. Pada akhirnya, timbullah kebencian dari kedua belah pihak yang dapat merusak persatuan umat Islam.
Rasulullah SAW selalu memerintahkan umatnya untuk berkata baik kepada orang lain, baik muslim maupun non muslim.
Di balik ucapan mengkafirkan orang lain itu sebenarnya tersembunyi perasaan bahwa “saya lebih baik dari dia; saya lebih islami, lebih suci, dan lebih benar serta akan masuk surga ketimbang dia”. Persoalannya darimana kita tahu bahwa amalan ibadah kita "yang banyak sekali itu" pasti diterima Allah dan dosa mereka "yang begitu banyak itu" tidak akan Allah ampuni? Kita tidak tahu nasib kita kelak, lalu bagaimana kita bisa begitu yakin dengan nasib orang lain. Ini merupakan hak prerogatif Allah. Jangan sampai kita justru jatuh pada kesyirikan karena merasa dan bertindak seperti Allah yang menentukan keimanan orang lain. Semoga Allah mengampuni kita semua. ( Wallahu A’lam )
Para ulama’ sangat berhati hati untuk menjatuhkan vonis “kafir” kepada seseorang, karena jika terbukti bahwa orang tersebut bukan termasuk orang kafir, maka vonis “kafir” itu akan kembali kepadanya. Oleh karena itu, tidak diperkenankan bagi siapapun untuk menjatuhkan vonis kafir berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati hatian, kepastian dan informasi yang akurat. Tidak diperbolehkan juga menjatuhkan vonis “kafir” terhadap seseorang yang melakukan maksiat, selama orang tersebut dalam keadaan iman, memegang teguh dua syahadat. Dalam sebuah penggalan hadis yang diriwayatkan dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Ada tiga hal yang merupakan pokok iman : menahan diri dari orang yang menyatakan “Tiada Tuhan Selain Allah”, tidak memvonis kafir seseorang akibat dosa yang dia lakukan, tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosanya” ( HR. Abu Dawud ).
Hadis diatas memberikan penjelasan bahwa dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang bukan merupakan barometer untuk menjustifikasi bahwa orang tersebut “kafir”. Selama ada iman dalam hati seseorang, ia akan mendapatkan balasan surga meski harus mencicipi neraka terlebih dahulu karena noda maksiat yang menempel dalam dirinya. Imam Harawi, salah satu ulama’ bermadzhab Hanafi menukil pendapat dari para ulama’ bahwa mereka berkata : jika terdapat 99 hal yg menguatkan kekafiran seorang Muslim, tetapi masih ada satu alasan yang menetapkan keislamannya, maka sebaiknya Mufti dan Hakim beramal dengan satu alasan tersebut, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum Muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang Muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum.”
Secara bahasa, kata Kafir berasal dari kata “kufr” yang berarti menutup atau menyembunyikan sesuatu. Sebagian sya’ir arab menggunakan kata kafir untuk mengungkapkan gelapnya malam yang menyelimuti segala sesuatu. Dalam istilah syari’at, kata “kufr” bermakna orang yang mengingkari prinsip prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui umat Islam tanpa pandang bulu, seperti masalah keesaan Allah SWT, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad SAW, kebangkitan hari akhir, hisab ( perhitungan amal ), balasan, sorga, neraka. Maka, orang yang mengingkari prinsip prinsip ajaran agama sebagaimana yang disebutkan diatas dinamakan “Kafir”, kecuali bagi orang yang baru masuk Islam, maka ia diberi toleransi untuk mempelajari beberapa prinsip agama tersebut. Namun, kata “Kafir” juga berarti orang yang menutup nikmat Allah SWT ( tidak bersyukur atas nikmat Allah SWT ). Oleh karena itu, pengertian “kafir” tidak hanya dalam konteks keyakinan semata. Jika kata tersebut dipadankan dengan nikmat misalnya, maka pengertiannya adalah lawan dari orang-orang yang bersyukur yakni orang-orang yang kufur. Dalam hal ini Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an yang artinya :“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim : 07).
Khtaib As Syarbini, salah satu ulama’ mesir yang terkemuka, membagi kafir menjadi empat bagian : kafir ingkar, kafir juhud, kafir ‘inad dan kafir nifaq. Kafir ingkar adalah sebutan bagi orang yang tidak mengenal Allah SWT dan tidak mengakui-Nya sebagai Tuhan. Kafir juhud adalah sebutan bagi orang yang mengakui Allah SWT dalam hatinya, namun tidak mengakui-Nya secara lisan, seperti : Iblis dan orang Yahudi. Kafir ‘inad adalah orang yang mengakui Allah SWT dengan hati dan lisannya, namun ia tidak mau beragama Islam, seperti : Abu Thalib ( salah satu paman Rasulullah SAW ). Dan yang terakhir adalah kafir nifaq, yaitu sebutan bagi orang yang mengakui Allah SWT secara lisan, namun tidak meyakini-Nya dalam hati.
Orang orang yang memanggul paham radikal kerapkali begiu mudah melontarkan kata kata bid’ah, syirik dan kafir terhadap kelompok lain yang dipandang tidak sepemikiran dengan mereka Sebenarnya kelompok yang senang mengkafirkan golongan lain ( jama’ah takfiri ) sudah lahir sejak dulu kala. Yang awal awal bisa kita contohkan adalah munculnya kelompok Khawarij. Kelompok - kelompok semacam ini terus bermunculan dalam sejarah umat Islam. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan wahabi menganggap kafir semua orang yang tidak masuk menjadi pengikutnya, sekalipun mereka itu dari golongan ulama’ yang sangat tinggi tingkat ketakwaaanya. Di Arab Saudi, seorang ulama’ dengan tandasnya mengkafirkan ulama’ lain hanya karena ulama’ yang dikafirkan itu membolehkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di negeri kita pun nyaris panen pengkafiran, lewat ungkapan bid’ah, syirik dan kafir yang gampang sekali terlontar untuk menyebut amalan amalan yang dinilai tidak sefaham dengannya.
Golongan – golongan inilah yang dapat memperkeruh keharmonisan hubungan antar umat Islam. Orang – orang yang dituduh kafir oleh jama’ah takfiri meresa tidak nyaman. Telinga mereka selalu terganggu dengan ocehan - ocehan “kafir”. Apapun bentuk amaliyah yang mereka kerjakan selalu mendapat kecaman dari jama’ah takfiri. Sedangkan mereka tidak akan setuju jika amaliyah yang sudah menjadi rutinitas tahunan dianggap melenceng dari ajaran Islam oleh jama’ah takfiri. Pada akhirnya, timbullah kebencian dari kedua belah pihak yang dapat merusak persatuan umat Islam.
Rasulullah SAW selalu memerintahkan umatnya untuk berkata baik kepada orang lain, baik muslim maupun non muslim.
Di balik ucapan mengkafirkan orang lain itu sebenarnya tersembunyi perasaan bahwa “saya lebih baik dari dia; saya lebih islami, lebih suci, dan lebih benar serta akan masuk surga ketimbang dia”. Persoalannya darimana kita tahu bahwa amalan ibadah kita "yang banyak sekali itu" pasti diterima Allah dan dosa mereka "yang begitu banyak itu" tidak akan Allah ampuni? Kita tidak tahu nasib kita kelak, lalu bagaimana kita bisa begitu yakin dengan nasib orang lain. Ini merupakan hak prerogatif Allah. Jangan sampai kita justru jatuh pada kesyirikan karena merasa dan bertindak seperti Allah yang menentukan keimanan orang lain. Semoga Allah mengampuni kita semua. ( Wallahu A’lam )
Posting Komentar