Oleh : Afrizal El Adzim Syahputra, Lc., MA
( Pengurus PC GP Ansor Trenggalek )
Salah satu ciri utama Islam adalah mewujudkan perdamaian. Islam yang mengandung makna salam, memiliki tujuan menjaga keharmonisan hubungan antar sesama. Dalam tradisi hidup Nabi, beliau selalu menolak penyelesaian masalah dengan kekerasan. Nabi Saw selalu mengakampanyekan anti-kekerasan dan keteguhan dalam menghadapi penindasan. Oleh karena itu, Nabi Saw menempatkan perdamaian pada posisi penting dalam Islam, seperti mewujudkan kerukunan beragama di Madinah yang saat itu terdiri dari Orang – orang muslim, yahudi dan nasrani. Kerukunan ini melahirkan perdamaian di hati umat Islam yang berimbas pada rasa perdamaian dalam hubungan sosial, bahkan terhadap non muslim sekalipun.
( Pengurus PC GP Ansor Trenggalek )
Salah satu ciri utama Islam adalah mewujudkan perdamaian. Islam yang mengandung makna salam, memiliki tujuan menjaga keharmonisan hubungan antar sesama. Dalam tradisi hidup Nabi, beliau selalu menolak penyelesaian masalah dengan kekerasan. Nabi Saw selalu mengakampanyekan anti-kekerasan dan keteguhan dalam menghadapi penindasan. Oleh karena itu, Nabi Saw menempatkan perdamaian pada posisi penting dalam Islam, seperti mewujudkan kerukunan beragama di Madinah yang saat itu terdiri dari Orang – orang muslim, yahudi dan nasrani. Kerukunan ini melahirkan perdamaian di hati umat Islam yang berimbas pada rasa perdamaian dalam hubungan sosial, bahkan terhadap non muslim sekalipun.
Ada lima agama yang hidup rukun dan berdampingan di Indonesia. Dari kelima tersebut, hanya Islam yang paling banyak dianut oleh masyarakat. Tentunya, Islam sebagai agama mayoritas memiliki kewajiban untuk selalu menjaga keharmoniasan antar umat beragama, salah satunya dengan tidak menggunakan istilah atau panggilan yang memungkinkan dapat mencederai perasaan non muslim. Hal ini sebagaimana pendapat dari salah satu ulama’ mesir yang menulis buku “KHITHABUNA AL ISLAMY FI ‘ASHRIL AULAMAH” (Narasi Keislaman di Era Globalisasi).
Dalam kitab tersebut, beliau mengatakan bahwa diantara ajaran Islam yang penuh hikmah dan nasihat yang baik, khususnya di era gobalisasi seperti saat ini adalah : Hendaknya tidak memanggil orang-orang yang berbeda keyakinan dengan sebutan “Kafir atau Kuffar”, walaupun kita memang meyakini kekufurannya secara aqidah. Apalagi jika mereka adalah Ahli Kitab (Nashrani dan Yahudi). Kemudian, beliau menjelaskan alasannya :
Pertama, kata “Kafir” memiliki banyak makna, salah satunya bermakna 'orang yang berbeda keyakinan dengan kita'. Termasuk didalamnya, orang-orang yang sama sekali tidak mau mengimani apa-apa yang tidak tertangkap dengan pancaindera. Kedua, Sesungguhnya al-Quran mengajarkan pada kita agar tidak memanggil manusia, ( walaupun memang ia kafir ) dengan panggilan “Kafir”. Maka, Allah Swt memilih untuk memanggil orang-orang yang tidak beriman pada-Nya dengan kalimat: "Wahai Manusia", "Wahai Bani Adam", dan "Wahai Ahli Kitab". Dan tidaklah dalam Al-Quran Allah memanggil mereka dengan panggilan "Wahai orang-orang Kafir", kecuali dalam 2 ayat saja, yakni dalam surat At-Tahrim ayat 7 dan dalam Surat Al-Kafirun ayat 1.
Adapun yang melatarbelakangi panggilan Allah dengan panggilan “Kafir” dalam surat ini adalah karena Allah Swt menegur kaum musyrikin penyembah berhala yang menawarkan pada Nabi Muhammad Saw agar beliau Saw menyembah tuhan-tuhan mereka selama satu tahun, lalu kemudian mereka (musyrikin) menyembah Tuhannya Nabi Saw selama satu tahun juga. Maka, surat al-Kafirun ini menjadi perintah dari Allah langsung untuk menolak tegas tawaran keji mereka. Allah memilih kata-kata dan susunan kalimat dalam surat al-Kafirun yang sangat keras dan sarkastis untuk menolak tawaran mereka yang terlalu keji itu. Namun, di akhir ayat-Nya pun Allah tetap berbelas kasih pada mereka dengan kalimat penutup yang berbunyi "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku".
Menurut KH. Misbahul Munir, selaku Ketua Aswaja Center Pusat, pemilihan kata atau istilah sangat penting dalam pergaulan dengan sesama manusia. Banyak kata yang memiliki makna sama, namun akan berbeda dan bahkan dapat menimbulkan kesan negatif ketika digunakan tidak pada tempatnya. Misalnya kata “mati”. Banyak kata yang memiliki kesamaan arti dengan “mati”, seperti “meninggal, wafat, berpulang, mampus dan modar”. Jika salah dalam memilih dan menempatkan kata tersebut, maka akan bisa berubah rasa. Misal : kata “modar” tidak pas jika digunakan untuk orang yang terhormat/kyai. Tidak mungkin kita mengatakan “kyai/ustadz itu sudah modar”. Akan lebih pas dan beradab jika mengatakan “kyai/ustadz itu sudah wafat”.
Oleh karena itu, tidak benar jika Munas NU yang baru saja berakhir mengubah akidah umat Islam atau bahkan menghapus surat al Kafirun dalam al Qur’an. Tujuan utama dalam Munas ini adalah untuk memberikan rasa nyaman kepada seluruh masyarakat Indonesia, dengan tidak menggunakan istilah atau panggilan yang dapat menyakiti hati/perasaan penganut agama lain. Panggilan atau istilah “kafir” agaknya kurang nyaman bagi sebagian dari mereka yang beragama lain. Apalagi, dalam konteks saat ini, kata “kafir” sering digunakan untuk menghina dan mencaci maki orang lain yang tidak sepaham atau seagama, baik melalui media sosial, atau dalam kehidupan sehari – hari. Mereka lebih nyaman dengan istilah “non muslim/warga negara”.
Itu sebabnya dalam Piagam Madinah yang disepakati oleh Nabi Saw dan penganut agama lain tidak terdapat pembagian muslim dan kafir. Yang ada hanya istilah Muhajirin, Ansor, Muslim, Yahudi dan Nasrani. Begitu juga dalam UUD 45 tidak terdapat pembagian warga Indonesia ke dalam kategori muslim dan kafir. Yang ada hanya istilah “warga negara”. Hal ini bertujuan untuk menjaga toleransi antara sesama non muslim. ( Wallahu A’lam )
Posting Komentar