Pada hari Minggu (8/1/2017) yang lalu sejumlah elemen masyarakat akan mendeklarasikan Masyarakat Anti-Hoax,
di acara Car Free Day (CFD) di Jakarta.
Acara deklarasi ini sebelumnya sudah didahului dengan deklarasi serupa di
sejumlah daerah.
Gerakan anti-hoax ini dipicu maraknya berita palsu di masyarakat yang
menyebar melalui media sosial di Indonesia.
Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) yang juga pegiat media dan Pemimpin Redaksi NU
Online, Savic Ali menyebutkan NU turut bergabung dalam upaya perang melawan hoax
itu dengan beberapa alasan. Selain NU kerap menjadi 'korban' atau sasaran
berita palsu, NU juga berkepentingan untuk bersama-sama elemen masyarakat
memerangi hoax karena inforasi palsu seperti itu kini sudah masuk level
berbahaya yang bisa merusak semangat persaudaraan, semanat persatuan dan
kebangsaan.
"Hoax seperti itu bisa memicu sentimen yang menguat antarakelompok dan
bisa membahayakan hubungan antarumat beragama, atau antarwarga sebangsa,"
kata Savic Ali kepada KBR.
Savic mengatakan dalam Islam sebenarnya banyak ajaran-ajaran dan pelajaran
penting mengenai bagaimana menghadapi berita atau kabar bohong.
"Dalam konteks hadits kalau di kalangan orang Islam. Hadits itu ada sanad
atau silsilah, keberurutan, riwayatnya sama matan--teksnya. Kalau sanad
atau silsilah perawi atau periwayat hadits itu putus, atau diantara perawi-nya
ada orang yang nggak bisa dipercaya, hadits itu kan otomatis derajatnya turun.
Sama seperti sekarang. Tulisan yang nggak ada nama penulisnya ibarat hadits
nggak ada perawi-nya, periwayatnya. Harusnya nggak bisa dipercaya. Kita
bisa mengatakan ke masyarakat seperti itu. Jangan percaya tulisan yang nggak
ada nama penulisnya," kata Savic Ali.
Menurut Savic, cara-cara sederhana sesuai sejarah Islam itu diyakini bakal
efektif untuk menerangkan ke masyarakat awam, khususnya kalangan Nahdliyin
untuk bersikap bagaimana menghadapi berita-berita bombastis yang rawan
kebohongan.
Berikut wawancara lengkap KBR dengan Savic Ali, yang juga menggagas situs Islami.co
sebagai media alternatif untuk Islam yang ramah.
Bagaimana awalnya NU akan bergabung dalam gerakan masyarakat sipil
anti-hoax?
Kita sebetulnya belum pernah ikutan rapat formal dengan masyarakat sipil anti-hoax.
Tapi saya komunikasi dengan Mas Septiaji (Septiaji Eko Nugroho, inisiator
komunitas masyarakat anti-hoax) sudah agak lama. Ibaratnya kami punya
kepedulian yang sama.
Di internal NU sendiri kita sudah prihatin dengan banyaknya hoax ini.
Tidak hanya karena isu soal kebangsaan, tapi juga yang terkait dengan isu NU.
Banyak berita yang tidak benar tentang tokoh NU, mendiskreditkan tokoh NU. Kita
sadar benar bagaimana dampak hoax ini, apalagi dalam soal-soal yang
berhubungan antaragama.
Jadi, apakah salah satu alasannya karena NU pernah menjadi korban hoax?
Bukan semata pernah merasakan menjadi korban. Tapi kami merasa hoax ini
sangat berbahaya sekali kalau merajalela. Karena bisa merusak semangat
persaudaraan, semangat persatuan, semangat kebangsaan. Itu kepedulian utama
kita.
Menurut Anda, siapa yang membuat atau menyebarkan hoax?
Tidak mudah mengidentifikasi siapa yang membuat. Kalau yang menyebarkan itu
banyak kita bisa temukan di sosial media, di web tertentu. Tapi siapa yang
meng-create pertama itu siapa, ini perlu diselidiki lebih jauh.
Tapi kalau saya identifikasi, ada tiga kelompok yang berada di balik hoax yang
beredar. Pertama, kelompok yang punya kepentingan politik, yang punya agenda
tertentu. Kedua, kelompok yang kepentingannya lebih ideologis. Misalnya di
Timur Tengah itu campuran politik dan ideologis. Misalnya hoax yang
terkait pembantaian berlatar belakang agama. Ketiga, kelompok yang
kepentingannya pragmatis. Urusannya cuma ekonomi, nyari duit saja, lewat
online, clickbait, dan seterusnya. Jadi tidak tunggal siapa yang
melakukan.
Masyarakat Indonesia sudah lama diserbu informasi hoax. Bagaimana
jika dibandingkan sekarang dengan era medsos?
Sekarang kan ada media sosial, broadcaster-nya makin banyak, dan isunya
makin sensitif. Hoax itu dari dulu ada. Misalnya di sepakbola juga ada.
Pemain A katanya mau pindah ke klub lain, padahal tidak ada sumber yang jelas.
Tapi itu kan tidak membahayakan.
Hoax itu fabrikasi isu yang punya tujuan tertentu. Untuk memicu konflik,
menyembunyikan sesuatu, mendiskreditkan lawan, dan seterusnya. Sekarang
levelnya sudah cukup mengkhawatirkan. Karena dampak hoax dalam konteks
hubungan antarumat beragama, hubungan kelompok sebangsa itu sangat riskan.
Lebih membahayakan lagi, karena itu sudah diterima sebagai kebenaran dan
dipercaya. Di era digital, informasi beredar sangat cepat. Menjangkau jutaan
orang dengan sangat cepat, menjangkau jutaan orang dengan sangat cepat. Dan
mempengaruhi kepala dengan sangat cepat.
Dengan merajalelanya hoax, orang tidak lagi mampu membedakan antara
fakta dan fiksi. Mengapa? Karena dilakukan dengan intens dan terus-menerus, dan
ada konteks sosial politiknya. Misalnya hoax soal perang Suriah, itu kan
hoax banyak sekali. Tapi karena ada konteks perangnya, orang sulit
membedakan antara benar atau tidak. Misalnya diberitakan ada Imam Syiah menyerukan
pembantaian, padahal tidak ada beritanya.
Lalu ada foto yang beredar soal Myanmar. Kita tahu di Myanmar ada kekejaman
terhadap kelompok Rohingya yang mayoritas muslim. Lantas ada foto beredar
seorang bayi menyusu di atas mayat ibunya, dan ditulis itu korban pembantaian
Myanmar. Padahal tidak benar, itu hanya adegan sebuah film.
Hoax seperti itu bisa memicu sentimen yang menguat antarakelompok dan
bisa membahayakan hubungan antarumat beragama, atau antarwarga sebangsa.
Ada intention atau niat?
Ada intention. Ini fabrikasi isu dengan tujuan tertentu. Yang politik ya
tujuannya mendiskreditkan lawannya dan mencari dukungan politik dari publik.
Yang tujuannya ideologi, tujuannya ya mengkampanyekan ideologinya dan
meruntuhkan ideologi yang tidak ia setujui. Yang ekonomi ya tujuannya nyari
ekonomi saja. Anak-anak yang bikin web, blog, itu urusannya ngejar Google
AdSense, ngejar advertising, sehingga memanipulasi judul, memanipulasi
informasi. Padahal dia tidak pernah reportase. Dia tidak pernah verifikasi.
Kita mengapa prihatin? Ini hoax yang menyangkut isu yang sangat
sensitif. Bisa memicu konflik atau paling tidak memicu sentimen antarkelompok.
Kalau sentimen antarkelompok-kelompok sosial itu meningkat, hidup seperti apa
yang kita bayangkan? Ketika semua mata saling curiga, saling mengintai, itu kan
berbahaya sekali.
Peran apa yang dimainkan situs NU?
NU kan punya situs NUOnline (www.nu.or.id). Ada situs lain juga yang dibikin
teman-teman NU. Saya selain di NU Online juga membuat Islami.co, ada teman yang
bikin Arrahmah.co.id, ada juga yang bikin fiqhmenjawab.net untuk
persoalan-persoalan fikih. Ada juga situs Gusdurian.net, dan macam-macam. Di
jaringan NU banyak teman yang membuat website.
Paling tidak di level NU, kami memahaminya begini. Sekarang ini sedang marak Trojan
Kebencian. Hoax ini salah satu Trojan Kebencian. Bagaimana NU
menghadapi Trojan Kebencian ini?
Pertama, kita harus membangun Firewall. Ibarat komputer,
supaya Trojan ini tidak menginveksi banyak kepala, maka dalam konteks kami
warga NU, kami harus membangun firewall di kalangan NU untuk melindungi
warga NU dari informasi-informasi yang tidak benar. Melindungi dari Trojan
Kebencian, dari hoax berbau SARA. Jadi NU Online fungsi salah satunya
untuk itu, sebagai firewall. Ketika ada informasi sensitif terutama
terkait ke-NU-an, atau keislaman, atau kebangsaan yang relevan untuk diketahui
warga NU, maka warga NU sebaiknya merujuk pada NU Online.
Kedua, kita bertindak sebagai antivirus. Terkait kepala-kepala
yang sudah kena virus, terpengaruh, bagaimana? Ya kita harus bisa menjelaskan
dengan informasi bantahan, informasi kedua, argumen kedua, dan seterusnya.
Harapannya, kepala-kepala itu menjadi sadar bahwa dia terinveksi oleh hoax,
supaya bisa membersihkan kepalanya.
Dua fungsi itu, yaitu sebagai firewall dan antivirus itu yang coba kita
lakukan. Saya kira dengan dunia online, kampanye di website, sosial media, kita
bisa menjalankan proses seperti itu.
Tapi kalangan pembuat hoax mungkin juga melakukan strategi lain,
menyusup, dengan cara backdoor (lewat pintu belakang)?
Saya percaya, pada titik tertentu commonsense atau akal sehat masyarakat
akan bisa menilai. Hanya kelompok yang memang punya agenda politik, ekonomi,
dan ekonomi tertentu saja yang akan tetap keukeuh menggunakan itu. Tapi pada
dasarnya masyarakat awam, masyarakat normal akan ada proses berpikir.
Sekarang kalau Anda saksikan, web-web yang dulu pernah diblokir Kominfo, tapi
kemudian dibuka lagi, itu secara umum traffic pengunjungnya turun.
Mengapa? Karena masyarakat jadi tahu, 'oh web ini dianggap berbahaya'.
Walaupun kemudian blokirnya dibuka, tapi itu menjadi sinyal buat orang-orang
yang dulu nggak ngerti dan kemudian ikut nge-share hanya karena namanya Islam.
Tapi begitu diblokir Kominfo, orang jadi tahu. 'Oh web ini afiliasinya
radikal, tidak ada penanggungjawabnya, artikelnya tidak ada nama penulisnya.
Jadi memang tidak bertanggungjawab to'. Publik jadi tahu, teredukasi.
Islam punya ilmu menangkal hoax?
Dalam konteks Islam, sejarah Islam mengajarkan banyak. Ketika Nabi meninggal,
Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali itu kan ada konflik di internal umat Islam.
Saat itu muncul hadits-hadits palsu. Itu kan sama, hadits palsu. Waktu itu
kelompok yang bertikai, mencoba mencari legitimasi dari perkataan Rasulullah.
Lalu banyak orang bikin hadits palsu, seolah-olah itu perkataan Rasulullah
untuk kepentngan dia. Ini sama juga hoax. Hoax dibuat pada dasarnya
untuk meligitimasi mendukung mensukseskan kepentingan-kepentingan ini.
Masyarakat Islam punya sejarah dengan itu. Itu berlangsung bertahun-tahun. Baru
kemudian pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memutuskan untuk memeriksa
hadits-hadits yang beredar. Waktu itu disinyalir ada lebih dari satu juta
hadits palsu. Maka kemudian dibentuk tim untuk mengecek hadits-hadis itu benar
atau nggak.
Dalam konteks hadits bagi orang Islam, hadits itu ada sanad atau
silsilah, keberurutan, riwayatnya sama matannya--teksnya. Kalau sanadnya
terputus, atau diantara perawi (periwayat hadits) ada orang yang nggak bisa
dipercaya, hadits itu kan otomatis derajatnya turun.
Sama seperti sekarang, kita bisa mereview portal berita. Tulisan yang nggak ada
nama penulisnya ibarat hadits nggak ada perawinya, periwayatnya. Bagaimana
kemudian? Harusnya itu nggak bisa dipercaya. Kita bisa mengatakan ke masyarakat
seperti itu. Jangan percaya tulisan yang nggak ada nama penulisnya.
Jadi analogi itu bisa digunakan untuk memudahkan penjelasan ke masyarakat
bagaimana menghadapi hoax?
NU akan lebih mudah menjelaskan seperti ini ke masyarakat, karena NU sudah
punya sejarah dalam proses hadits. Ada banyak hadits palsu, ada hadits dhaif,
sahih, mutawattir. NU atau masyarakat Muslim kan punya pengalaman, jadi
sebenarnya mudah untuk diajak belajar terkait bagaimana menghadapi hoax.
Prinsipnya, NU ikut melakukan edukasi. Tapi edukasi saja tidak cukup. Negara
harus melakukan tindakan-tindakan yang berdasar hukum.
Dalil Alquran juga ada bagaimana menghadapi hoax atau berita bohong?
Dalam hukum Islam, ada tulisan, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al
Hujurat: 6).
Makanya kita harus hati-hati, apalagi terkait informasi yang bisa memicu
sentimen kesukuan atau keagamaan. Ini kan berbahaya sekali.
Pemerintah sedang mengawasi situs-situs radikal atau garis keras. Tapi ada
yang berpendapat memblokir situs radikal sama saja saja dengan memblokir situs
Islam. Bagaimana?
Media Islam itu berbeda dengan media radikal. Media Islam itu tidak boleh
bohong. Islam melarang bohong. Dia tidak boleh menulis berita palsu. Kita harus
bedakan.
Freedom of expression---saya kira kelompok-kelompok Islam, termasuk FPI
dia juga punya hak menyuarakan pandangannya. Sejauh pandangannya tidak
mengancam hak dasar hidup orang lain. Tapi kalau bicara soal hoax, ini
tidak ada kaitannya dengan freedom of speech atau freedom of expression.
Hoax ini domainnya adalah berita, bukan pendapat. Berita itu harus faktual,
nggak boleh bohong. Lawannya hoax ya berita yang benar. Fakta atau
fiksi. Kalau berpendapat, kita boleh saja beda pendapat. Tapi hoax itu
nggak boleh.
Kategori radikal ini, pemerintah juga harus meng-clear-kan apa
kategorinya? Saya sendiri tidak begitu cocok dengan web-web tertentu, seperti
Arrahmah.com, atau VOA-Islam.com, yang sering mengglorifikasi (mengagungkan)
teroris. Artikel-artikelnya sering mengkampanyekan sentimen kebencian. Tapi
buat saya, mereka juga punya hak bersuara lewat artikelnya.
Meski begitu, artikel mereka yang mengandung hoax ya harus diblokir,
tapi bukan pada portal keseluruhan. Blokir hanya diberlakukan pada artikel
tertentu yang dianggap mengandung hoax atau dianggap melanggar hukum.
Tapi domain dia harus dihargai, dia tetap punya hak bersuara. Hak berorganisasi
dan seterusnya.
NU misalnya nggak cocok dengan wahabi, tapi kan kami nggak bisa kampanye
web-web Wahabi ditutup, kan nggak boleh.
Bagaimana pedoman sederhana berita hoax atau bukan?
Sederhana. Kalau berita itu tidak ada faktanya, itu hoax. Untuk
membuktikan bahwa itu hoax atau tidak itu kan harus ada cek-ricek dan
verifikasi. Ini memang orang awam tidak mudah memahaminya, jadi kita butuh
kelompok-kelompok tertentu, seperti jurnalis atau panel khusus yang bekerja
menjelaskan pada masyarakat, bahwa ini hoax, ini bukan. Di dunia kan
ada, ada HoaxBuster.com, ada juga museum hoax (hoaxes.org).
Munculnya masyarakat antihoax juga salah satu ikhtiar untuk mengerjakan hal-hal
seperti itu.
Kalau di NU, kita misalnya menulis atau merilis web-web yang tidak sesuai
dengan NU, bahwa itu tidak harus dipercaya atau dijadikan sumber oleh
orang-orang NU. Karena mengandung Trojan kebencian.
Posting Komentar