Sekjend PP ISNU, M Khalid Syeirazi (Ist.) |
Sekretaris
Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) M. Kholid
Syeirazi mengungkapkan bahwa maraknya penyebaran berita bohong (hoaks)
telah secara nyata mengancam tertib sosial. Hoaks yang ada dan paling
berbahaya menurutnya adalah hoaks yang bermotif ideologis yaitu
radikalisme agama.
Hal ini dikatakannya dalam seminar bertajuk Peran Generasi Islam Menyambut Pemilu Damai tanpa Hoaks dan Radikalisme di kampus Perguruan Tinggi Ilmu AL-Qur’an (PTIQ), Jakarta, Selasa (4/12).
Kholid menjelaskan bahwa hoaks berkembang akibat revolusi digital yang membuat setiap orang dapat sekaligus menjadi produsen dan konsumen berita. Perangkat modern teknologi tanpa kultur literasi membuat orang mudah membagikan berita bahkan tanpa membaca isinya.
“Studi Central Connecticut State University tentang World’s Most Literate Nations tahun 2017 menempatkan peringkat Indonesia ke-2 dari bawah dari segi literasi. Dari 62 negara yang disurvei, Indonesia ranking ke-61 di atas Botswana. Peringkat teratas ditempati negara-negara Scandinavia.
“Tidak heran kalau mayoritas penyebar hoaks adalah ibu-ibu rumah tangga. Ponselnya pintar, tetapi orangnya tidak. Namun, trend ini bisa diterapi dengan literasi digital. Yang agak berat adalah motif komersial. Orang cari makan dengan memproduksi konten-konten provokatif, sensasional, dan gosip murah. Tujuannya oplah melalui klik dan share,” jelasnya melalui siaran pers yang diterima NU Online.
Tetapi yang paling berbahaya, menurut Kholid, adalah yang bermotif politis ideologis, yaitu anggapan bahwa Indonesia ini kawasan perang (dâr al-harb).
“Dalam Islam, hukum perang membolehkan dusta dan tipu daya berdasarkan hadis al-harb khud’ah (perang itu tipu daya). Motif ideologis ini berakar kuat pada gerakan fundamentalisme agama yang ingin merubah Indonesia menjadi negara Islam,” terangnya.
Ia memberi contoh di zaman dulu Komando Jihad, penerus gerakan DI/NII Kartosoewirjo, aktif sekali menyebarkan hoaks sekitar tahun 70-an. Isunya hampir sama dengan saat ini yakni masalah agama dan komunisme.
“Salah satu aktornya Danu Muhammad Hasan. Dia sebarkan propaganda bahwa Komunis Internasional akan melakukan kudeta paling lambat pada tahun 1980 dan bahwa saat ini 50 ribu tentara komunis telah berhasil disusupkan, 50 ribu lagi akan masuk dari Hongkong sebagai imigran gelap, dan 2 juta orang akan menyusul melalui Serawak. Isu ini terus didaur ulang dan laku di kalangan Islam konservatif sampai sekarang,” jelas Kholid.
Saat ini juga gencar disebarkan narasi semisal Indonesia dijajah TKA China dan Indonesia dijebak hutang menggunung. Menurutnya, semua itu adalah narasi politik bermotif ideologis.
“Mereka dengan sadar memproduksi hoaks. Tujuannya menciptakan anomie (kekacauan) dan seterusnya delegitimasi terhadap pemerintahan yang sah. Anggapan Indonesia sebagai dâr al-harb ini bahaya sekali. Bukan hanya hoaks, harta orang lain pun dianggap fa’i (rampasan) yang boleh dirampok. Inilah ancaman terbesar terhadap narasi kebangsaan kita,” pungkas Kholid. (Red: Muhammad Faizin).
Sumber : NU Online (http://www.nu.or.id/post/read/99888/hoaks-bermotif-politis-ideologi-jadi-yang-paling-berbahaya)
Hal ini dikatakannya dalam seminar bertajuk Peran Generasi Islam Menyambut Pemilu Damai tanpa Hoaks dan Radikalisme di kampus Perguruan Tinggi Ilmu AL-Qur’an (PTIQ), Jakarta, Selasa (4/12).
Kholid menjelaskan bahwa hoaks berkembang akibat revolusi digital yang membuat setiap orang dapat sekaligus menjadi produsen dan konsumen berita. Perangkat modern teknologi tanpa kultur literasi membuat orang mudah membagikan berita bahkan tanpa membaca isinya.
“Studi Central Connecticut State University tentang World’s Most Literate Nations tahun 2017 menempatkan peringkat Indonesia ke-2 dari bawah dari segi literasi. Dari 62 negara yang disurvei, Indonesia ranking ke-61 di atas Botswana. Peringkat teratas ditempati negara-negara Scandinavia.
“Tidak heran kalau mayoritas penyebar hoaks adalah ibu-ibu rumah tangga. Ponselnya pintar, tetapi orangnya tidak. Namun, trend ini bisa diterapi dengan literasi digital. Yang agak berat adalah motif komersial. Orang cari makan dengan memproduksi konten-konten provokatif, sensasional, dan gosip murah. Tujuannya oplah melalui klik dan share,” jelasnya melalui siaran pers yang diterima NU Online.
Tetapi yang paling berbahaya, menurut Kholid, adalah yang bermotif politis ideologis, yaitu anggapan bahwa Indonesia ini kawasan perang (dâr al-harb).
“Dalam Islam, hukum perang membolehkan dusta dan tipu daya berdasarkan hadis al-harb khud’ah (perang itu tipu daya). Motif ideologis ini berakar kuat pada gerakan fundamentalisme agama yang ingin merubah Indonesia menjadi negara Islam,” terangnya.
Ia memberi contoh di zaman dulu Komando Jihad, penerus gerakan DI/NII Kartosoewirjo, aktif sekali menyebarkan hoaks sekitar tahun 70-an. Isunya hampir sama dengan saat ini yakni masalah agama dan komunisme.
“Salah satu aktornya Danu Muhammad Hasan. Dia sebarkan propaganda bahwa Komunis Internasional akan melakukan kudeta paling lambat pada tahun 1980 dan bahwa saat ini 50 ribu tentara komunis telah berhasil disusupkan, 50 ribu lagi akan masuk dari Hongkong sebagai imigran gelap, dan 2 juta orang akan menyusul melalui Serawak. Isu ini terus didaur ulang dan laku di kalangan Islam konservatif sampai sekarang,” jelas Kholid.
Saat ini juga gencar disebarkan narasi semisal Indonesia dijajah TKA China dan Indonesia dijebak hutang menggunung. Menurutnya, semua itu adalah narasi politik bermotif ideologis.
“Mereka dengan sadar memproduksi hoaks. Tujuannya menciptakan anomie (kekacauan) dan seterusnya delegitimasi terhadap pemerintahan yang sah. Anggapan Indonesia sebagai dâr al-harb ini bahaya sekali. Bukan hanya hoaks, harta orang lain pun dianggap fa’i (rampasan) yang boleh dirampok. Inilah ancaman terbesar terhadap narasi kebangsaan kita,” pungkas Kholid. (Red: Muhammad Faizin).
Sumber : NU Online (http://www.nu.or.id/post/read/99888/hoaks-bermotif-politis-ideologi-jadi-yang-paling-berbahaya)
Posting Komentar