Oleh: Ahmadul Faqih Mahfudz*
“Saya lahir tepat saat NU lahir, Mas,” penuh kebanggaan dan kemantapan ia berkata. “Tahun 1926, silakan hitung sendiri berapa usia saya sekarang.”
Saya tak bisa menangkap semua yang ia sampaikan karena ia bicara dalam bahasa Jawa kromo. Bahasa yang, hanya saya mengerti, sedikit demi sedikit. Saya yang tidak bisa bicara dalam bahasa Jawa pun hanya bisa menanggapinya dengan bahasa Indonesia.
Namun, saya melihat ia lebih bertenaga saat bicara organisasi yang didirikan oleh Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy’ari itu. Kami memang bercakap dengan bahasa yang berbeda, tapi kami berangkat dari tradisi yang sama: pesantren.
Saya tak begitu lama mengenalnya. Hanya sepuluh bulan. Tepatnya, sejak menikah. Lelaki berusia 92 tahun ini adalah paman istri saya. Karena hanya sepuluh bulan, saya juga tak terlalu sering bertemu dengannya. Saya hanya bersilaturahmi saat kami, saya dan istri, pulang ke Munjungan, Trenggalek. Tapi obrolan-obrolannya, pesan-pesannya, dan tentu saja keteduhan wajahnya, menyala dalam jiwa saya.
Dalam sejarah nasional, nama Mbah Musdi memang tidak ada. Andai pun ada, mungkin ia hanya ditulis: Rakyat. Entitas, yang keberadaannya lebih sering tidak diperhatikan, justru dimanfaatkan, oleh penguasa. Tapi dalam sejarah masyarakat Desa Munjungan, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Mbah Musdi merupakan tokoh sekaligus pelaku sejarah, khususnya sejarah Islam dan sejarah NU di Munjungan.
Ia adalah salah satu tokoh yang ikut berperan dalam mendirikan Pondok Pesantren Nurul Ulum. Pesantren yang menjadi poros keagamaan masyarakat Kecamatan Munjungan, Trenggalek. Karena orang pesantren, ia pun hidup dan beragama ala pesantren: Tegas, tapi tidak keras. Lembut, tapi tidak lembek. Sederhananya, keberagamaan atau keberislamannya santai tapi teguh, ciri khas Islam Nusantara.
Sering saya lihat ia duduk di kursi, di teras rumahnya, sambil membaca Qur’an. Ia juga memiliki kebiasaan menyembelih ayam, sebagai selametan, lalu membagi-bagikannya kepada tetangga setiap kali mengkhatamkan Qur’an. Mbah Musdi, memang tidak pernah meneliti Qur’an sebagaimana para sarjana di kampus atau dalam konferensi-konferensi elitis itu, tapi ia mengalami Qur’an. Qur’an, baginya, bukan obyek penelitian, melainkan media untuk mengalami apa dan siapa pun dalam kehidupan.
Tapi bagaimanapun, laki-laki yang istikamah shalat berjamaah di masjid ini tetap orang Jawa. Kejawaannya makin terasa setiap tengah malam. Dari rumah istri saya yang hanya berjarak lima meter dari rumahnya, lamat-lamat saya dengar pertunjukan wayang mengalun. Setiap malam, Mbah Musdi menyimak lakon-lakon wayang dari radio tua kesayangannya. Dari rumah istri saya pula, saya ikut mencuri-curi dengar lakon apa yang malam itu sedang dimainkan. Asyik sekali.
Mbah Musdi juga dikenal sebagai dukun manten. Dukun manten bukan dukun ahli pengasihan yang membuat laki-laki dan perempuan jatuh cinta lalu menikah. Bukan! Dukun manten di sini bermakna orang yang dituakan, baik usia lebih-lebih ilmu keagamaannya, yang selalu diminta mendoakan mempelai setiap kali hajatan pernikahan digelar.
Ia ahli kosmologi Jawa. Mahir mencari hari-hari baik dalam hitungan kalender Jawa. Orang-orang yang ingin menikahkan anaknya, akan datang kepada Mbah Musdi untuk meminta hari yang tepat dan bagus agar pernikahan itu berkah bagi hidup kedua mempelai dan keluarganya. Atau, meminta petunjuk kapan hari yang baik untuk membangun rumah, pindahan rumah, memulai usaha, dan semacamnya.
Kemarin pagi, saya terkejut mendapat kabar Mbah Musdi sakit. Saat itu pula ia dibawa ke Puskesmas Munjungan, kemudian dirujuk ke rumah sakit di kota Trenggalek. Padahal, meski sepuh, ia terbilang sehat. Terakhir berjumpa, saya lihat tubuhnya bugar dan kulitnya yang bersih tampak segar.
Tadi malam, tidak ada lagi suara dalang memainkan wayang yang biasa saya dengar melalui celah-celah rumahnya yang berdinding gedek itu. Dan, tiba-tiba, subuh tadi saya terbangun dengan kabar: Mbah Musdi telah berangkat ke hadirat Allah Ta’ala.
Selamat jalan, Mbah. Saat ini, mungkin engkau sedang tersenyum, sedang bahagia, karena berjumpa dengan dalang yang sebenarnya. Kami, yang sejatinya hanya wayang-wayang yang dimainkan-Nya, malah tenggelam dalam takabur karena mengira kamilah dalang dari rencana-rencana kami, dari ambisi-ambisi kami, dari cita-cita kami, dari harapan-harapan kami, dari usia kami, bahkan dari apa pun dalam hidup kami.
Semoga Allah menerimamu dengan lambaian cinta. Dan, semoga Allah, menempatkanmu bersama Kanjeng Nabi: manusia termulia yang sering kausebut-sebut namanya, yang juga kaurindukan sejak dahulu untuk menjumpainya.
* pemandang budaya, tinggal di Yogyakarta.
Saya tak bisa menangkap semua yang ia sampaikan karena ia bicara dalam bahasa Jawa kromo. Bahasa yang, hanya saya mengerti, sedikit demi sedikit. Saya yang tidak bisa bicara dalam bahasa Jawa pun hanya bisa menanggapinya dengan bahasa Indonesia.
Namun, saya melihat ia lebih bertenaga saat bicara organisasi yang didirikan oleh Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy’ari itu. Kami memang bercakap dengan bahasa yang berbeda, tapi kami berangkat dari tradisi yang sama: pesantren.
Saya tak begitu lama mengenalnya. Hanya sepuluh bulan. Tepatnya, sejak menikah. Lelaki berusia 92 tahun ini adalah paman istri saya. Karena hanya sepuluh bulan, saya juga tak terlalu sering bertemu dengannya. Saya hanya bersilaturahmi saat kami, saya dan istri, pulang ke Munjungan, Trenggalek. Tapi obrolan-obrolannya, pesan-pesannya, dan tentu saja keteduhan wajahnya, menyala dalam jiwa saya.
Dalam sejarah nasional, nama Mbah Musdi memang tidak ada. Andai pun ada, mungkin ia hanya ditulis: Rakyat. Entitas, yang keberadaannya lebih sering tidak diperhatikan, justru dimanfaatkan, oleh penguasa. Tapi dalam sejarah masyarakat Desa Munjungan, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Mbah Musdi merupakan tokoh sekaligus pelaku sejarah, khususnya sejarah Islam dan sejarah NU di Munjungan.
Ia adalah salah satu tokoh yang ikut berperan dalam mendirikan Pondok Pesantren Nurul Ulum. Pesantren yang menjadi poros keagamaan masyarakat Kecamatan Munjungan, Trenggalek. Karena orang pesantren, ia pun hidup dan beragama ala pesantren: Tegas, tapi tidak keras. Lembut, tapi tidak lembek. Sederhananya, keberagamaan atau keberislamannya santai tapi teguh, ciri khas Islam Nusantara.
Sering saya lihat ia duduk di kursi, di teras rumahnya, sambil membaca Qur’an. Ia juga memiliki kebiasaan menyembelih ayam, sebagai selametan, lalu membagi-bagikannya kepada tetangga setiap kali mengkhatamkan Qur’an. Mbah Musdi, memang tidak pernah meneliti Qur’an sebagaimana para sarjana di kampus atau dalam konferensi-konferensi elitis itu, tapi ia mengalami Qur’an. Qur’an, baginya, bukan obyek penelitian, melainkan media untuk mengalami apa dan siapa pun dalam kehidupan.
Tapi bagaimanapun, laki-laki yang istikamah shalat berjamaah di masjid ini tetap orang Jawa. Kejawaannya makin terasa setiap tengah malam. Dari rumah istri saya yang hanya berjarak lima meter dari rumahnya, lamat-lamat saya dengar pertunjukan wayang mengalun. Setiap malam, Mbah Musdi menyimak lakon-lakon wayang dari radio tua kesayangannya. Dari rumah istri saya pula, saya ikut mencuri-curi dengar lakon apa yang malam itu sedang dimainkan. Asyik sekali.
Mbah Musdi juga dikenal sebagai dukun manten. Dukun manten bukan dukun ahli pengasihan yang membuat laki-laki dan perempuan jatuh cinta lalu menikah. Bukan! Dukun manten di sini bermakna orang yang dituakan, baik usia lebih-lebih ilmu keagamaannya, yang selalu diminta mendoakan mempelai setiap kali hajatan pernikahan digelar.
Ia ahli kosmologi Jawa. Mahir mencari hari-hari baik dalam hitungan kalender Jawa. Orang-orang yang ingin menikahkan anaknya, akan datang kepada Mbah Musdi untuk meminta hari yang tepat dan bagus agar pernikahan itu berkah bagi hidup kedua mempelai dan keluarganya. Atau, meminta petunjuk kapan hari yang baik untuk membangun rumah, pindahan rumah, memulai usaha, dan semacamnya.
Kemarin pagi, saya terkejut mendapat kabar Mbah Musdi sakit. Saat itu pula ia dibawa ke Puskesmas Munjungan, kemudian dirujuk ke rumah sakit di kota Trenggalek. Padahal, meski sepuh, ia terbilang sehat. Terakhir berjumpa, saya lihat tubuhnya bugar dan kulitnya yang bersih tampak segar.
Tadi malam, tidak ada lagi suara dalang memainkan wayang yang biasa saya dengar melalui celah-celah rumahnya yang berdinding gedek itu. Dan, tiba-tiba, subuh tadi saya terbangun dengan kabar: Mbah Musdi telah berangkat ke hadirat Allah Ta’ala.
Selamat jalan, Mbah. Saat ini, mungkin engkau sedang tersenyum, sedang bahagia, karena berjumpa dengan dalang yang sebenarnya. Kami, yang sejatinya hanya wayang-wayang yang dimainkan-Nya, malah tenggelam dalam takabur karena mengira kamilah dalang dari rencana-rencana kami, dari ambisi-ambisi kami, dari cita-cita kami, dari harapan-harapan kami, dari usia kami, bahkan dari apa pun dalam hidup kami.
Semoga Allah menerimamu dengan lambaian cinta. Dan, semoga Allah, menempatkanmu bersama Kanjeng Nabi: manusia termulia yang sering kausebut-sebut namanya, yang juga kaurindukan sejak dahulu untuk menjumpainya.
* pemandang budaya, tinggal di Yogyakarta.
Posting Komentar