Manager dan Sineas
Jakarta, NU ONLINE, Oleh teman-temannya Djamaluddin Malik di kenal sebagai seorang dermawan. Dia ini menjadi bos atau raja Seniman Senen, yang waktu itu sebelum ada Taman Ismail Marzuki, pasar Senen dengan kedainya yang murah menjadi tempat pertemuan para seniman untuk minum kopi sambil membicarakan berbagai masalah kehidupan dari kriminalitas, kemiskinan, kesenian hingga ke masalah poitik. Ketika kesenian belum terkomersialisasi seperti sekarang ini pada umumnya para seniman hidup sangat miskin apalagi bagi para seniman pemula, yang sekarang ini banyak menjadi seniman besar.Tetapi kreativitas mereka dalam masa sulit itu justru berkembang pesat, karena imajinasi mereka bisa berkembang secara bebas, bahkan liar.
Kepada Djamaluddin inilah mereka itu mengharapkan bantuan keuangan, baik sekadar untuk minum kopi, membeli buku, menonton sandiwara hingga memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Untuk itu ia membuka rumahnya selama 24 jam bagi siapa saja yang ingin datang. Kedermawanan tidak hanya pada orang yang di anggap miskin, KH. Saifuddin Zuhri yang waktu itu baru pindah dari Semarang untuk di promosikan menjadi pegawai tinggi di Departemen Agama Jakarta, juga pernah di beri sebuah rumah besar di kawasan Kebayoran Baru II. Apalagi pertunjukan kesenian atau tonil banyak yang dibiayai Djamaluddin Malik secara pribadi. Hal itu di maksudkan untuk memacu perkembangan seni budaya nasional yang waktu itu sedang pada tahap rintisan.Bahkan Dr. Mashudi, Sekjen Lesbumi, pengganti Hasbullah Khalid , ketika berjumpa Djamaluddin Malik di Cairo, tiba-tiba diberi uang pound sterling yang lumayan banyak, sehingga bisa ongkos naik pesawat pp dari Cairo ke Jakarta.
Sebelum terjun ke dunia seni budaya, khususnya film, putera Minang kelahiran tahun 1917 ini bekerja di sebuah maskapai palayaran Belanda (KPM), juga pernah bekerja di sebuah perusahaan dagang Belanda. Dari pengalaman bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda tersebut dia memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kiat berdagang dan managemen perdagangan modern, dan sekaligus bisa menghimpun kekayaan dari sana. Bakat enterpreneurshipnya berkembang dengan modal finansial yang memadai, sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia menjadi saudagar yang kaya pada zamannya.
Baru ketika terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang pada tahun 1942, di mana semua aset dan kekuasaan Belanda di ambil alih oleh Jepang, saat itulah Djamaluddin Malik sebagai seorang patriot mulai melangkahkan kaki untuk perjuangan dengan mendirikan kelompok sandiwara Panca Warna. Kelompok ini pentas keliling hampir di seluruh kota besar Indonesia untuk membangkitkan semangat juang dan cinta tanah air, untuk menghadapi penjajahan. Atas jasanya itu ia di angkat sebagai seorang pahlawan Nasional. Seperti yang pernah di saksikan Pramoedya, drama Djamaluddin Malik Ratu Asia, yang pernah di pentaskan di Garden Hall, Jakarta itu sangat mempesona, baik ceritanya, maupun peran pemainnya. Ini membuktikan keseriusan Djamal dalam membentuk lembaga kesenian modern ini.
Pada masa kemerdekaan yakni tahun 1951 ia mempelopori berdirinya industri perfilman Indonesia dengan gaya Hollywood dengan mendirikan NV. Persari (Perseroan Artis Republik Indonesia). Studio film yang berlokasi di Polonia Jatinegara berada di areal tanah yang sangat luas dan memiliki sarana yang lengkap, baik untuk latihan, shoting dan pertunjukan film dan drama, di lengkapi pula dengan perumahan para artis, memang sejak awal Djamaluddin ingin mengangkat kehidupan para artis, yang kebanyakan baru meniti karir dalam asuhannya sendiri. Gedung ini sering di jadikan tempat pertemuan para seniman dan budayawan. Pertemuan para Ulama’ NU sering kali di adakan di sini. Studio ini sangat produktif menghasilkan film, dengan produksi rata-rata delapan film setahun, sehingga ia tampil sebagai seorang produser film pribumi terbesar saat itu. Sementara itu usaha dagangnya juga terus berkembang pesat.
Kesibukan yang luar biasa dalam dunia film dan perdagangan itu membuat Djamal merasa jauh dari agama, sehingga mengalami kekeringan dan kemiskinan rohani di tengah kekayaan materi yang melimpah. Menyadari bahwa hal itu akan membahayakan bagi keseimbangan hidupnya Djamal memutuskan untuk melakukan perjalanan fisik dan rohani ke Tanah Suci untuk mengisi kehausan rohaninya dengan menunaikan ibadah Haji, yang merupakan puncak pengalaman rohani tertinggi. Hal itu kemudian turut mengilhami lahirnya film Tauhid yang di produksi oleh Lesbumi.
Ketika berada di Tanah Suci itulah timbul kesadarannya bahwa dirinya harus juga mengabdikan diri kepada kepentingan masyarakat dan agama. Maka ketika kembali ke Tanah Air tahun 1952, maka di pilhlah Nahdlatul Ulama’ (NU) untuk berkiprah, pilihan jatuh ke NU, sebab jauh sebelumnya Djamaluddin Malik sudah aktif di Gerakan Pemuda Ansor Anak cabang Kebon Sirih Jakarta Pusat. Kehadirannya kedalam pangkuan Nahdliyin sangat di butuhkan, sebab saat itu NU tengah merintis untuk menjadi sebuah partai politik tersendiri, di luar orbit Masyumi, sehingga tenaga dan pikiran dan harta orang semacam dia tentu sangat di butuhkan.
Jakarta, NU ONLINE, Oleh teman-temannya Djamaluddin Malik di kenal sebagai seorang dermawan. Dia ini menjadi bos atau raja Seniman Senen, yang waktu itu sebelum ada Taman Ismail Marzuki, pasar Senen dengan kedainya yang murah menjadi tempat pertemuan para seniman untuk minum kopi sambil membicarakan berbagai masalah kehidupan dari kriminalitas, kemiskinan, kesenian hingga ke masalah poitik. Ketika kesenian belum terkomersialisasi seperti sekarang ini pada umumnya para seniman hidup sangat miskin apalagi bagi para seniman pemula, yang sekarang ini banyak menjadi seniman besar.Tetapi kreativitas mereka dalam masa sulit itu justru berkembang pesat, karena imajinasi mereka bisa berkembang secara bebas, bahkan liar.
Kepada Djamaluddin inilah mereka itu mengharapkan bantuan keuangan, baik sekadar untuk minum kopi, membeli buku, menonton sandiwara hingga memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Untuk itu ia membuka rumahnya selama 24 jam bagi siapa saja yang ingin datang. Kedermawanan tidak hanya pada orang yang di anggap miskin, KH. Saifuddin Zuhri yang waktu itu baru pindah dari Semarang untuk di promosikan menjadi pegawai tinggi di Departemen Agama Jakarta, juga pernah di beri sebuah rumah besar di kawasan Kebayoran Baru II. Apalagi pertunjukan kesenian atau tonil banyak yang dibiayai Djamaluddin Malik secara pribadi. Hal itu di maksudkan untuk memacu perkembangan seni budaya nasional yang waktu itu sedang pada tahap rintisan.Bahkan Dr. Mashudi, Sekjen Lesbumi, pengganti Hasbullah Khalid , ketika berjumpa Djamaluddin Malik di Cairo, tiba-tiba diberi uang pound sterling yang lumayan banyak, sehingga bisa ongkos naik pesawat pp dari Cairo ke Jakarta.
Sebelum terjun ke dunia seni budaya, khususnya film, putera Minang kelahiran tahun 1917 ini bekerja di sebuah maskapai palayaran Belanda (KPM), juga pernah bekerja di sebuah perusahaan dagang Belanda. Dari pengalaman bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda tersebut dia memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kiat berdagang dan managemen perdagangan modern, dan sekaligus bisa menghimpun kekayaan dari sana. Bakat enterpreneurshipnya berkembang dengan modal finansial yang memadai, sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia menjadi saudagar yang kaya pada zamannya.
Baru ketika terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang pada tahun 1942, di mana semua aset dan kekuasaan Belanda di ambil alih oleh Jepang, saat itulah Djamaluddin Malik sebagai seorang patriot mulai melangkahkan kaki untuk perjuangan dengan mendirikan kelompok sandiwara Panca Warna. Kelompok ini pentas keliling hampir di seluruh kota besar Indonesia untuk membangkitkan semangat juang dan cinta tanah air, untuk menghadapi penjajahan. Atas jasanya itu ia di angkat sebagai seorang pahlawan Nasional. Seperti yang pernah di saksikan Pramoedya, drama Djamaluddin Malik Ratu Asia, yang pernah di pentaskan di Garden Hall, Jakarta itu sangat mempesona, baik ceritanya, maupun peran pemainnya. Ini membuktikan keseriusan Djamal dalam membentuk lembaga kesenian modern ini.
Pada masa kemerdekaan yakni tahun 1951 ia mempelopori berdirinya industri perfilman Indonesia dengan gaya Hollywood dengan mendirikan NV. Persari (Perseroan Artis Republik Indonesia). Studio film yang berlokasi di Polonia Jatinegara berada di areal tanah yang sangat luas dan memiliki sarana yang lengkap, baik untuk latihan, shoting dan pertunjukan film dan drama, di lengkapi pula dengan perumahan para artis, memang sejak awal Djamaluddin ingin mengangkat kehidupan para artis, yang kebanyakan baru meniti karir dalam asuhannya sendiri. Gedung ini sering di jadikan tempat pertemuan para seniman dan budayawan. Pertemuan para Ulama’ NU sering kali di adakan di sini. Studio ini sangat produktif menghasilkan film, dengan produksi rata-rata delapan film setahun, sehingga ia tampil sebagai seorang produser film pribumi terbesar saat itu. Sementara itu usaha dagangnya juga terus berkembang pesat.
Kesibukan yang luar biasa dalam dunia film dan perdagangan itu membuat Djamal merasa jauh dari agama, sehingga mengalami kekeringan dan kemiskinan rohani di tengah kekayaan materi yang melimpah. Menyadari bahwa hal itu akan membahayakan bagi keseimbangan hidupnya Djamal memutuskan untuk melakukan perjalanan fisik dan rohani ke Tanah Suci untuk mengisi kehausan rohaninya dengan menunaikan ibadah Haji, yang merupakan puncak pengalaman rohani tertinggi. Hal itu kemudian turut mengilhami lahirnya film Tauhid yang di produksi oleh Lesbumi.
Ketika berada di Tanah Suci itulah timbul kesadarannya bahwa dirinya harus juga mengabdikan diri kepada kepentingan masyarakat dan agama. Maka ketika kembali ke Tanah Air tahun 1952, maka di pilhlah Nahdlatul Ulama’ (NU) untuk berkiprah, pilihan jatuh ke NU, sebab jauh sebelumnya Djamaluddin Malik sudah aktif di Gerakan Pemuda Ansor Anak cabang Kebon Sirih Jakarta Pusat. Kehadirannya kedalam pangkuan Nahdliyin sangat di butuhkan, sebab saat itu NU tengah merintis untuk menjadi sebuah partai politik tersendiri, di luar orbit Masyumi, sehingga tenaga dan pikiran dan harta orang semacam dia tentu sangat di butuhkan.
Posting Komentar