Opini -
Keberadaan NU dalam partisipasi politik tidak bisa dipandang sebelah
mata. NU beserta Badan Otonomnya yang notabene memiliki massa struktural
maupun kultural ini tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi para
calon yang ikut dalam kontestasi perpolitikan. Di dalam Ansor
terdapat sub organisasi Banser misalnya, ada istilah Satu Komando.
Artinya, segala gerak dan langkah dari setiap kader Banser maupun Ansor
harus mengikuti dan taat pada intruksi pimpinan. Dalam hal ini adalah
seorang ketua Ansor ataupun seorang kepala Banser. Maka, tentunya ini
menarik bagi para calon kepala daerah guna kepentingannya dalam
Pemilihan Kepala Daerah. Tidak jarang para kontestan politik berusaha
mendekati Ansor untuk meraup suara dari kader yang ‘digerakkan’ oleh pimpinannya. Namun tentunya ini juga tidak mudah. Sejak awal GP Ansor yang
merupakan bagian dari NU berkomitmen untuk netral dalam setiap agenda
politik. Sikap netral yang dikedepankan Ansor ini bukan tanpa alasan.
Ansor memandang bahwa politik praktis identik dengan persaingan. Maka disinilah
kerawanan politik itu.
Karena saya merupakan kalangan muda NU, konteks pendapat ini akan saya kerucutkan ke dalam ruang yang lebih khusus, yaitu Gerakan Pemuda Ansor. Saya yang merupakan kader Ansor tingkat bawah yang mempunyai wilayah serta karakter tersendiri, mencoba untuk menganalisis berbagai kemungkinan. Ketertarikan saya untuk ikut berkecimplung dalam gerakan Ansor selain memang karena ingin berkontribusi secara struktural untuk Nahdlatul Ulama, salah satunya memang karena prinsip Ansor dalam kaitannya dengan politik yang menjunjung tinggi netralitas. Sebagaimana yang sering disampaikan Ketua Umum kami dalam setiap kesempatan.
Menurut pandangan saya (jika) misalkan Pemuda Ansor terlibat dalam politik praktis pilpres, pilgub, pilbub, dan sebagainya ternyata justru menjadikan Ansor terpenjara di dalam sebuah permainan politik yang tidak menyenangkan. Ansor memang organisasi kepemudaan yang di dalam sejarah kehidupan bangsa dan negara telah memiliki sejumlah kontribusi dalam berbagai levelnya.
Dalam hal kontestasi Pilkada Jawa Timur yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini, Ansor yang merupakan bagian dari percaturan politik Pilkada Jatim tentunya harus benar-benar clear dari urusan dukung mendukung politik praktis. Selain karena memang sudah menjadi prinsip Ansor sebagaimana saya uraikan diatas, kita ketahui bersama bahwa kedua kontestan Calon Gubernur Jawa Timur merupakan kader Nahdlatul Ulama. Siapapun nantinya yang melenggang menjadi Jatim Satu, NU-GP Ansor tidaklah dirugikan. Oleh karena itu, menjadi logis jika di tengah hingar bingar Pilkada yang akan datang muncul berbagai kekhawatiran. Banyak harapan agar Ansor tetap menjaga netralitasnya. Melalui posisi tersebut, siapa pun yang memenangkan Pilkada Jawa Timur tidak akan menyulitkan posisi dan kepentingan Ansor di masa depan.
Walaupun organisasi berbasis massa, Ansor memang seharusnya tidak memasuki kawasan di dalam sistem perpolitikan. Keterlibatan secara politik sesuai dengan khitah adalah keterlibatan individu, bukan organisasi. Hal ini tentu sangat berbeda dengan partai politik, di mana keterlibatan anggota parpol dalam sistem perpolitikan bukan sekedar persoalan pribadi, tetapi merupakan representasi parpolnya. Karena itulah, ketika seorang pimpinan atau pengurus organisasi seperti Ansor atau lainnya memasuki kawasan parpol atau jabatan politik, maka akan sangat sulit dihindarkan terseretnya gerbong organisasi dalam percaturan dan praktik politik. Memang agak rumit menjustifikasi keterlibatan seseorang di dalam dunia politik, apakah atas nama individu atau organisasi. Maka saran saya, bagi seseorang yang dalam posisi menjadi pimpinan di NU maupun Banomnya, jika memang memiliki dukungan politik calon tertentu dalam Pilkada Jatim ini hendaknya jangan memperlihatkan secara fulgar dukungannya tersebut. Itu semua semata-mata agar kader tidak kebingungan dalam menebak sikap politik pimpinannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketika seorang pimpinan organisasi memasuki kawasan tersebut, maka secara langsung atau tidak langsung akan menyeret institusinya.
Ansor adalah rumah besar. Saya mengibaratkan Ansor itu bagaikan sebuah panggung musik, setiap musisi bisa berimprovisasi sesuai dengan instrumen yang dimainkan. Namun, meski berbeda instrumen, improvisasi, dan ekspresi, pemain musik tersebut akan melahirkan harmoni dalam paduan yang sempurna.
Kesimpulannya, dalam Pilkada Jatim ini tanpa harus digiring oleh pimpinan pun kami kader Ansor bisa memilih calon pemimpin dengan cara kami sendiri. Toh, kedua calon gubernur sama-sama menguntungkan bagi NU.
+ Comments + 1 Comments
Masukkkk
Posting Komentar