Khutbah I
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
اللهُ
أَكْبَرُ (3×) اللهُ أَكْبَرُ (3×) اللهُ أكبَرُ (3×)
اللهُ
أَكْبَرُ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَأبْدَر
اللهُ
أَكْبَرُ كُلَّماَ صَامَ صَائِمٌ وَأَفْطَر
اللهُ
أَكْبَرُ كُلَّماَ تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَأَمْطَر
وَكُلَّماَ
نَبَتَ نَبَاتٌ وَأَزْهَر
وَكُلَّمَا
اَطْعَمَ قَانِعُ اْلمُعْتَر.
اللهُ
أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ وَ للهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ
عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلأَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ
.
اللهُ
أَكْبَرُ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ
اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلأَكْبَرُ وَأَشْهَدٌ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِى اْلمَحْشَرْ نَبِيَّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّر. اللهُ أَكْبَرُ.
اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ
اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
‘Aidin
‘aidaat yang dirahmati Allah.
Pada
hari raya yang berbahagia ini mari kita merenung sejenak tentang kondisi bangsa
kita akhir-akhir ini mulai mengarah pada kondisi terjadinya intoleransi. Hal
itu ditunjukkan dengan munculnya kecenderungan memaksakan kehendak dengan cara
ekstrem, bahkan teror, demi mewujudkan apa yang mereka yakini sebagai yang
paling benar. Hal ini bermula dari mudahnya seseorang menghukumi kafir orang
lain, mudah menghukumi sesat orang lain, dan meyakini tidak ada kemungkinan
kebenaran di pihak lain.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa kondisi tersebut bersumber dari kesalahpahaman tentang
ajaran Islam, yang kemudian membuka peluang timbulnya paham keislaman yang
melenceng dari semangat rahmatan lil ‘alamin. Akibatnya, munculah intoleransi
yang menjurus kepada tindakan radikal, ekstrem, dan teror.
Perselisihan
dalam umat Islam akhirnya juga tak jarang dimanfaatkan pihak lain yang
mengingikan umat Islam tidak bersatu dan tidak mengingikan Islam sebagai agama
pembawa rahmat dan pembawa kesejahteraan bagi seluruh alam. Pihak lain ini
mengusung agenda menjauhkan dari negara yang berdasarkan spiritualitas dalam
menjalankan, kebernegaraan dengan terus dijejali oleh kehidupan serba matrialis
(duniawi) dan liberal (bebas).
‘Aidin
‘aidaat yang dirahmati Allah.
Karena
itu, pemahaman awal yang perlu ditanamkan adalah bahwa Islam hadir sebagai
agama kasih sayang yang dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam.
Sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Artinya: “Dan tidak saya utus Engkau (Muhammad)
kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al Anbiya: 107)
Misi Islam yang mulia ini tidak akan terwujud
kecuali dengan landasan berpikir dan bertindak bijak, adil, dan proporsional .
Allah telah berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Artinya:
“Dan demikian Kami telah menjadikan kamu umat yang adil agar kamu menjadi saksi
atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.” (QS. al-Baqarah: 143)
Lantas
bagaimana agar bisa berpikir dan bertindak bijak, adil dan proposional?
Jawabannya adalah dengan mengikuti manhaj atau sistem yang telah disepakati
oleh mayoritas para ulama dan ada jaminan ketersambungan sanad keilmuannya
sampai kepada Rosululloh SAW. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan petikan
teks hadits berbunyi "ma ana alaihi wa ashabi" yang kemudian masyhur
di sebut dengan golongan Ahlussunnah wal Jamaah atau sering disingkat dengan
aswaja.
Dalam
kitab Syarhul 'Aqidati at Thahawiyyah Halaman 43 diterangkan bahwa Rasulullah
SAW telah menjelaskan yang dimaksud dengan pengikut Rasulullah SAW dan para
sahabatnya adalah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.
فَبَيَّنَ صلى الله عليه وسلم أَنَّ عَامَةَ
الْمُخْتَلِفِيْنَ هَالِكُونَ مِنَ الْجَانِبَيْنِ إِلَّا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
Artinya:
“Maka Nabi Muhammad SAW menjelaskan, sesungguhnya seluruh orang-orang yang
berselisih itu binasa kecuali kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.”
Bagi
warga NU sendiri, pola yang diambil dalam mengikuti manhaj Ahlussunnah wal
Jamaah adalah dengan model bermadzhab. Bermadzhab yang berarti taklid atau mengikuti
metode dan produk hukumnya para imam mujtahid. Sebagaimana telah menjadi
kesepakatan para ulama tentang bermadzhab. Dalam kitab al-Kaukab as-Sathi' fi
Jam'il Jawami' disebutkan:
حُكْمُ
التَّقْلِيْدِ حَرَامٌ عَلَى مُجْتَهِدٍ وَوَاجِبٌ عَلَى غَيْرِ مُجْتَهِدٍ كَمَا قَالَ
اَلسُّيُوطِي: ثُمَّ اَلنَّاسُ مُجْتَهِدٌ وَغَيْرُهُ فَغَيْرُ الْمُجْتَهِدِ يَلْزَمُهُ
اَلتَّقْلِيْدُ مُطْلَقاً عَامِيًا كَانَا أَوْ عَالِمًا.
Artinya:
“Hukum taklid adalah haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi bukan seorang
mujtahid, sebagaimana as-Suyuthi telah berkata bahwa manusia itu ada yang
mujtahid ada yang bukan, dan yang bukan mujtahid wajib baginya taklid secara
mutlak baik orang umum maupun orang yang ‘alim
‘Aidin
‘aidaat yang dirahmati Allah,
Mengikuti
paham Aswaja dengan pola bermadzhab mempunyai kelebihan; pertama akan
meminimalisir ketersesatan. NU memahami betul bahwa kadar kemampuan umat Islam
sebagai individu seorang muslim sangat beragam kemampuan, apalagi wilayah
garapan NU adalah masyarakat awam yang berada di pelosok pedesaan, tentunya
tanpa mengharamkan individu umat Islam menjadi seorang mujtahid. Disebutkan
dalam kitab Miaznul Kubro yang teksnya berbunyi:
فِيْ
الْمِيْزَانِ الشَّعْرَانِيِّ مَا نَصُّهُ: كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَاصُّ رَحِمَهُ
اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقْيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ. هَلْ هُوَ
وَاجِبٌ أَوْ لاَ يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دَامَتْ
لَمْ تَصِلْ إِلَى الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِيْ الضَّلاَلِ
وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ
Artinya:
Imam Al-Sya’roni dalam Kitab Mizanul Kubro menegaskan, Tuanku Ali al-Khawash
ditanya tentang bermadzhab, apakah wajib atau tidak? Beliau menjawab, kamu
wajib bermadzhab selagi belum mampu untuk memahami syari’ah secara sempurna,
khawatir terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Itulah yang diamalkan
oleh manusia saat ini.
Kelebihan
yang kedua, adalah bahwa Aswaja NU berkiblat kepada para Imam Mujtahid yang
dalam menyusun methode dan produk hukum tersebut bersumber dari semua potensi
yang ada. Potensi yang dimaksud adalah sumber dalil atau petunjuk yang didapati
dari ad-dalail as-sam'iyyah berupa Al-Qur'an, al-Hadits dan perkataan ulama,
ad-dalail al 'aqliyyah berupa; rasio dan panca indera, dan ad-dalail al
'irfaniyyah berupa;Kasyaf dan Ilham. Dengan memanfaatkan sumber dalil dari
semua potensi yang ada menjadikan hati hati dan bijaksana dalam menyelesaikan
setiap persoalan.
Seperti
di dalam kitab Ithaafu al-Saadati al-Muttaqiin juz 2, halaman 6, Imam Taajuddin
al-Subki (semoga Allah merahmatinya) telah berkata:
اِعْلَمْ
أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ كُلَّهُمْ اِتَّفَقُوا عَلَى مُعْتَقِدٍ وَاحِدٍ
فِيْمَا يَجِبُ وَيَجُوْزُ وَيَسْتَحِيْلُ، وَاِنْ اِخْتَلَفُوا فِي الطُّرُقِ اَلْمَبَادِئِ
اَلْمُوْصِلَةِ لِذَلِكَ أَوْ فِي لُمِيَّةِ مَا هُنَالِكَ وَبِالْجُمْلَةِ فَهُمْ
بِاْلِاسْتِقْرَاءِ ثَلَاثُ طَوَائِفٍاَلُأوْلَى: أَهْلُ الْحَدِيْثِ وَمُعْتَمِدُ
مَبَادِيهِمْ اَلْأَدِلَّةُ اَلسَّمْعِيَّةُ: أَعْنِى اَلْكِتَابُ ، اَلسُّنَّةُ وَاْلِإجْمَاعُ.
اَلثَّانِيَةُ: أَهْلُ النَّظْرِاَلْعَقْلِي وَالصِّنَاعَةِ اَلْفِكْرِيَّةِ وَهُمْ
اَلْأَشْعَرِيَّةُ وَالْحَنَفِيَّةُ وَشَيْخُ الْأَشْعَرِيَّةِ أَبُو الْحَسَنِ اِلْأَشْعَرِي،
وَشَيْخُ الْحَنَفِيَّةِ أَبُوْ مَنْصُوْرٍ اَلْمَاتُرِيْدِيِّ اَلثَّالِثَةُ: أَهْلُ
الْوُجْدَانِ وَالْكَشْفُ وَهُمْ اَلصُّوْفِيَّةُ ، وَمَبَادِيْهِمْ مَبَادِئُ أَهْلِ
النَّظْرِ وَالْحَدِيْثِ فِي الْبِدَايَةِ ، وَالْكَشْفُ وَالْإِلْهَامُ فِي النِّهَايَةِ.
Artinya:
"Ketahuilah bahwa Ahlussunnah wal Jamaah itu adalah mereka yang telah
bersepakat terhadap akidah yang satu didalam apa yang wajib, jaiz dan mustahil.
Jika mereka terdapat perselisihan itu hanya dalam metode atau didalam sebab dan
illatnya.Secara umum dapat digolongkan menjadi tiga yaitu; pertama; ahlul
hadits. Prinsip dasar mereka adalah penggunaan dalil-dalil wahyu (naqli) yaitu;
al Qur’an, as Sunnah, dan Ijma’. Kedua: ahlun nadzri (kelompok yang menggunakan
dalil akal) mereka adalah pengikut asy'ariy dan hanafiy. Guru besar pengikut
asy;ariy adalah Abul Hasan al Asy'ariy dan guru besar pengikut Hanafi adalah
Abu Manshur al Maaturidi. Ketiga: kelompok yang konsern mengolah rasa (wujdan)
dan membuka tabir (kasyaf). Mereka adalah ahlut tasawuf .Pada awalnya mereka
adalah seorang yang berkemampuan dasar-dasar ahlun nadzri dan ahlul hadits dan
pada akhirnya menjadi seorang yang berkemampuan mukasyafah (membuka tabir) dan
mendapatkan ilham (petunjuk)".
Kelebihan
yang ketiga; adalah adanya ketersambungan sanad keilmuannya dari ulama NU
sampai kepada Rosululloh SAW lewat para Mujtahid dan muridnya,
Hal
ini disandarkan pula kepada instruksi pendiri NU/Rois ‘Akbar K.H. Hasyim
Asy’ari yang terdapat dalam pengantar Anggaran Dasar 1947 yang berbunyi:
أَيَا
أَيُّهَا الْعُلَمَاءُ وَالسَّادَةُ اَلْأَتْقِيَاءُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
أَهْلُ مَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ أَنْتُمْ قَدْ أَخَذْتُمْ اَلْعُلُوْمَ مِمَّنْ قَبْلِكُمْ
وَمَنْ قَبْلُكُمْ مِمَّنْ قَبْلِهِ بِاتِّصَالِ السَّنَدِ إِلَيْكُمْ وَتَنْظُرُوْنَ
عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ فَأَنْتُمْ خِزْنَتُهَا وَأَبْوَابُهَا وَلَا تُؤْتُوا
اَلْبُيُوْتَ إِلَّا مِنْ أَبْوَابِهَا فَمَنْ أَتاَهَا مِنْ غَيْرِ أَبْوَابِهَا سُمِّيَ
سَارِقًا.
Artinya:
Wahai para ulama dan tuan-tuan yang takut kepada Allah dari golongan Ahlusunnah
wal Jama’ah, golongan madzhab imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut
ilmu dari orang-orang sebelum kalian dan begitu seterusnya secara tersambung
sampai pada kalian. Dan engkau sekalian tidak gegabah memperhatikan dari siapa
mempelajari agama. Maka karenanya kalianlah gudang bahkan pintu ilmu tersebut.
Janganlah memasuki rumah melainkan melalui pintunya. Barangsiapa memasuki rumah
tidak melalui pintunya maka disebut pencuri
Kelebihan
yang keempat, adalah para imam mujtahid dengan para muridnya hingga para ulama
NU pengikutnya telah memperlihatkan akhlak/etika yang baik hubungan antara guru
dengan murid. Seorang guru tidak mempersoalkan bila diberi masukkan oleh
muridnya namun seorang murid tetap menghormati gurunya. Perselisihan mereka
tidak sampai pada saling sesat menyesatkan tidak juga saling mengkafirkan. Para
mujtahid dan para muridnya sangat hati-hati untuk mengklaim dirinya paling
benar, berani menyesatkan apalagi mengkafirkan. Perselisihan mereka memperkaya
hasanah keilmuan karena dituangkan dalam karya tulis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Mereka mampu saling menempatkan posisinya
secara proposional sebagai guru dan murid sehingga berdampak pada tetap
terjalinnya persaudaraan antar umat Islam.
‘Aidin
‘aidaat yang dirahmati Allah.
Dengan
demikian manhaj Aswaja NU akan terus menjadi pilihan mayoritas umat Islam dunia
tidak hanya Indonesia. Umat di luar Islam pun akan lebih dapat merasa nyaman
hidup berdampingan dalam menjalankan kehidupan beragamanya di samping pula
memang adanya sikap toleransi atas pluralitas beragama dalam berdakwah serta
bijak dalam menyikapi budaya setempat. Menjalani kehidupan keberagamaan yang
saling memberi kenyamanan antar umat tentunya sangat mempengaruhi dalam
menjalani kehidupan bernegara.
Keberadaan
negara sendiri dalam pandangan Aswaja NU menjadi wajib karena negara berfungsi
mewujudkan kesejahteraan bagi warganya sejalan dengan misi agama Islam itu
sendiri yaitu sebagai agama kasih sayang yang dapat mensejahterakan seluruh
alam. NU menemukan bentuk negara dan system kepemerintahannya yang diyakini
sangat sesuai dengan watak ke-Indonesiaan yang beragam suku, ras, etnis, budaya
dan agama. Mendapatkan keyakinannya itu dijalani dengan sabar dengan
mengedepankan hal hal yang prioritas terlebih dahulu daripada mendapatkan
kesemuannya namun mendatangkan kerusakan. Perubahan dilakukan secara evolutif
(bertahap) bukan revolusif (seketika). Dan sampailah pada keyakinan bahwa NKRI
sebagai bentuk negara dan demokrasi pancasila sebagai system kepemerintahannya
sangat sesuai dengan Indonesia dan tidak keluar dari manhaj Aswaja NU.
‘Aidin
‘aidaat yang dirahmati Allah.
Maka
bersatu dengan menjadi anggota NU itu sangat penting karena menjadi anggota NU
adalah sebuah kebutuhan. NU sendiri adalah wadah berkumpulnya para ulama
Ahlussunnah wal Jamaah, wadahnya para pemegang tongkat estafet risalah Rasulullah
SAW;
اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
Artinya: “Ulama adalah pewaris para nabi.”
NU adalah wadahnya hamba-hamba Allah SWT yang
takut pada-Nya;
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ اَلْعُلَمَاءُ
Artinya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambanya adalah ulama.” (QS.
Al-Fathir: 68)
Dan
NU adalah wadahnya para ulama untuk membina umat pengikutnya agar tidak
tersesat serta senantiasa bersama-sama dalam satu keyakinan.
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وإِيَّاكُمْ وَاْلفِرْقَةَ
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الْإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أرَادَ
بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمْ اَلْجَمَاعَةَ
Artinya:
“Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena setan akan menyertai
orang yang sendiri. Dia (setan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang
siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada
(keyakinan) al-Jama’ah”(HR. al-Tirmidzi).
‘Aidin
‘aidaat yang dirahmati Allah.
Demikian
khutbah Idul Fitri kali ini semoga bermanfaat.
Mari
kita bersama-sama berdoa sembari mengangkat tangan, semoga Allah senantiasa
memberikan tambahan nikmat, rahmat kasih sayang dan anugerah-Mu kepada kita
semua. Semoga memberikan tambahan kekuatan lahir dan batin kepada kita semua
guna mewujudkan keadilan dan kemakmuran.
Ya
Allah, semoga kita semua dijadikan umat yang hidup rukun, saling kasih, tetap
teguh lahir batin untuk menanggulangi kezaliman dan kecurangan serta
kebakhilan. Serta dijadikan termasuk golongan orang-orang shalih yang sanggup
menyelesaikan tugas-tugas pembangunan lahir dan batin.
Ya
Allah semoga Engkau mengampuni semua dosa dan kesalahan serta kekhilafan kami
serta Engkau jaga, lindungi kami dari tipu daya iblis, setan dan sekutunya.
يَا الله
يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اِجْعَلْنَا مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ وَاجْعَلْنَا
مِنْ عِبَادِكَ الْمَغْفُوْرِيْنَ السَّالِمِيْنَ وَاَدْخِلْنَا فِى زُمْرَةِ الصَّالِحِيْنَ
الْمَرْزُوْقِيْنَ وَبَاعِدْنَا مِنْ مَكَايِدِ الشَّيَاطِيْنَ وَالنَّفْسِ الْاَمَّارَةِ
بِالسُّوْءِ.
اَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. قَدْ
اَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَاَبْقَى. فَاسْتَغْفِرُوْا وَتُوْبُوْا اِلَى اللهِ
إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah II
اللهُ
أَكْبَرُ (3×) اللهُ أَكْبَرُ (4×) اللهُ أَكْبَرُ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا
وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصِيْلاً لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. اْلحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ
عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ اللهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ.وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ أَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ
وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ،
وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، اَلْأَحْيَاءِ
مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، بِرَحْمَتِكَ
يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللّهُمَّ اَعِزِّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. وَاَعْلِ
جِهَادَهُمْ بِالنَّصْرِ الْمُبِيْنَ. وَدَمِّرْ اَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاَهْلِكِ الْكَفَرَةَ
وَالْمُشْرِكِيْنَ. اَللّهُمَّ اكْفِنَا شَرَّ الظَّالِمِيْنَ. وَاكْفِنَا شَرَّ الْمُنَافِقِيْنَ.
وَسَلِّمْنَا مِنْ مَكَايِدِ الشَّيَاطِيْنَ.
اَللّهُمَّ
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ
عَلَيْنَا إِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
(H. Basyir Fadlullah, Ketua LDNU Kabupaten
Purbalingga Jateng)
________________________________________________________
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/79123/khutbah-idul-fitri-meneguhkan-islam-rahmatan-lil-alamin
Posting Komentar